Pertumbuhan ekonomi Indonesia 2016 diprediksi
meningkat dengan didorong oleh stimulus fiskal, khususnya realisasi pembangunan
proyek infrastruktur yang semakin cepat. Selain itu investasi swasta juga
diharapkan dapat mendongkrakpertumbuhan ekonomi setelah Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga acuan
(BI Rate) ke posisi 7%.
"Investasi swasta diharapkan meningkat seiring dengan dampak paket
kebijakan pemerintah yang terus digulirkan dan pemanfaataan ruang pelonggaran
moneter secara terukur dengan tetap menjaga stabilitas makro ekonomi,"
kata Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi Moneter Bank Indonesia (BI) Solikin
M. Juhro saat pelatihan media di Bandung, Jawa Barat, Minggu (21/2/2016).
Dia menambahkan dalam proyeksi sebelumnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan pada rentang 5,2%-5,6%, tapi setelah BI rate turun maka ekonomi diproyeksi tumbuh sekitar 5,4%.
"Kita bisa melihat ekonomi pada arah tengah, yaitu 5,4%. Nah ini didorong dari konsumsi masyarakat seperti sektor makanan yang masih bagus, karena sepertinya masyarakat Indonesia doyan makan," sambungnya.
Selain itu pendorong lainnya adalah belanja pemerintah, seperti proyek pembangunan jalan atau infrastruktur yang diharapkan dapat terealisasi. Kemudian, lanjut dia, tren penurunan harga minyak dunia juga diharapkan dapat mendorong penurunan tekanan inflasi, dimana inflasi tahun ini diyakini berada pada kisaran angka 4 plus minus 1%.
"Kita akan alami inflasi yang konsisten. Tahun ini bisa dikendalikan seperti tahun lalu, dipercaya tahun ini inflasi akan di bawah 4% lagi. Sekarang bagaimana menekan inflasi-inflasi komponen," paparnya.
Dia menambahkan dalam proyeksi sebelumnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan pada rentang 5,2%-5,6%, tapi setelah BI rate turun maka ekonomi diproyeksi tumbuh sekitar 5,4%.
"Kita bisa melihat ekonomi pada arah tengah, yaitu 5,4%. Nah ini didorong dari konsumsi masyarakat seperti sektor makanan yang masih bagus, karena sepertinya masyarakat Indonesia doyan makan," sambungnya.
Selain itu pendorong lainnya adalah belanja pemerintah, seperti proyek pembangunan jalan atau infrastruktur yang diharapkan dapat terealisasi. Kemudian, lanjut dia, tren penurunan harga minyak dunia juga diharapkan dapat mendorong penurunan tekanan inflasi, dimana inflasi tahun ini diyakini berada pada kisaran angka 4 plus minus 1%.
"Kita akan alami inflasi yang konsisten. Tahun ini bisa dikendalikan seperti tahun lalu, dipercaya tahun ini inflasi akan di bawah 4% lagi. Sekarang bagaimana menekan inflasi-inflasi komponen," paparnya.
(Kunthi Fahmar Sandy, Februari 2016)
Ada juga
Muliaman Hadad yang menyampaikan beberapa uraiannya mengenai situasi ekonomi
Indonesia yang akan berubah pada awal tahun 2016. Beliau berpendapat bahwa
dalam beberapa bulan ke depan sampai akhir 2015, keadaan ekonomi dunia masih akan tidak menentu, namun akan terjadi perubahan
mulai awal tahun 2016.Demikian pendapat Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) Indonesia di depan mahasiswa Indonesia di Universitas Monash
hari Kamis (10/9/2015) malam.
Muliaman
Hadad yang juga sebelumnya mendapat gelar Doktor dari Universitas Monash hadir
dalam acara yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia Australia
(PPIA) Monash.
Ini
adalah bagian dari kegiatan bernama Australia Indonesia Business Forum dimana
PPIA Monash secara berkala mendatangkan para pembicara guna memberikan masukan
kepada mahasiswa mengenai realitas dunia bisnis.
Muliaman
Hadad hadir untuk berbicara dalam tajuk pertemuan "Crafting Innovative
Leaders in Golden Era" (Mencetak Pemimpin Inovatif di Era Keemasan), namun
berkenaan dengan situasi perekonomian dunia dan Indonesia saat ini, kemudian
banyak juga menyinggung hal lain selain juga meberikan beberapa nasehat
mengenai kepemimpinan.
Dalam
uraiannya Muliaman Hadad mengatakan saat ini memang terjadi pelemahan
pertumbuhan ekonomi di beberapa bagian dunia, terutama di China, dan negara-negara
berkembang termasuk di Indonesia.
Menjawab
pertanyaan apakah Indonesia sekarang mengalami krisis ekonomi, Muliaman
mengatakan "Tidak". "Kalau kita lihat negara-negara lain berada
dalam situasi lebih buruk dari kita. Thailand, Malaysia, Singapura dan
negara-negara berkembang lainnya. China yang dulu bisa tumbuh 8-9 persen
setahun sekarang mengalami kesulitan untuk mencapai 6 persen."
"Namun
dalam waktu bersamaan, di Eropa meski ada krisis di Yunani, namun pertumbuhan
ekonomi di sana masih bagus. Demikian juga dengan Amerika Serikat." kata
Hadad yang pernah menjadi Wakil Gubernur Bank Indonesia tersebut.
"Inilah
yang membedakan antara keadaan sekarang dengan krisis ekonomi global di tahun
2008. Yang juga terjadi karenanya sekarang ini tidak ada reaksi global
bersama-sama untuk mengatasi situasi." tambahnya.
Dikatakan
oleh Hadad bahwa dalam pertemuan otoritas jasa keuangan dan perbankan baru-baru
ini di Turki yang dihadirinya, Amerika Serikat sebagai ekonomi terbesar di
dunia mendapat desakan untuk segera menentukan sikap apakah akan menaikkan suku
bunga atau tidak, ghal yang dikatakannya menciptakan ketidakmenentuan
sekarang ini.
"Mereka
sendiri selama dua tahun terakhir tidak bisa memutuskan, dan kita juga tidak
bisa memaksa mereka. Jadi keadaan ekonomi sekarang di Indonesia banyak
disebabkan karena faktor eksternal." tambah Hadad.
Dalam
situasi ini, Muliaman Hadad mengatakan kepada puluhan mahasiswa Indonesia yang
hadir dalam acara ini untuk melihat persoalan ekonomi Indonesia dalam taraf
menengah dan panjang.
"Beberapa
bulan ke depan dinamika ekonomi dunia masih akan gonjang ganjing. Namun anda
semua harus melihat potensi ekonomi Indonesia dalam jangka menengah dan
panjang, karena di situlah anda akan bisa mengisinya setelah selesai sekolah
nanti." kata Hadad, yang menjadi Doktor Ekonomi di Monash di tahun 1996.
Berbicara
mengenai awal tahun 2016, Muliaman Hadad mengatakan hal yang dilakukan
pemerintah Indonesia saat ini misalnya dengan mengeluarkan paket kebijakan
ekonomi bulan September adalah untuk menciptakan momentum baru guna menumbuhkan
kembali gerak perekonomian.
"Krisis
ekonomi itu bisa datang dan pergi tanpa diundang dan dampak dari suatu putaran
itu biasanya baru terasa 6-9 bulan berikutnya. Oleh karena itu, pemerintah
berusaha untuk mendorong terus dengan berbagai kebijakan guna menghidupkan
kembali ekonomi." tambah Hadad.
Dia
juga optimistis bahwa modal asing yang sekarang ini keluar akan kembali ke
Indonesia.
"Modal
itu seperti air selalu mencari jalannya sendiri. Sekarang di AS, tingkat suku
bunga sangat rendah, demikian juga di Eropa. Di negara-negara berkembang lebih
rendah dari kita. Di Indonesia marginnya masih tinggi, jadi setelah mereka
mencari ke sana kemari untuk menanamkan modalnya, saya yakin mereka akan
kembali ke Indonesia." kata Hadad.
Dan di
tengah situasi perekonomian yang tidak menentu ini, menurut Hadad, sebagai
bagian dari Otoritas Jasa Keuangan yang perlu dilakukan adalah menjaga situasi
guna memastikan tidak adanya misalnya bank atau lembaga keuangan yang
"jatuh'.
"Dengan
dolar Amerika Serikat yang terus menguat terhadap rupiah, sebenarnya kita tidak
khawatir. Bank Indonesia tidak khawatir kalau dolar mencapai Rp 15 ribu. Juga
indeks saham menurun tidak berpengaruh pada bank, karena di Indonesia, bank
tidak boleh meminjamkan dana untuk membeli saham. Hal seperti itu terjadi di
China, sehingga turunnya indeks saham mempengaruhi bank." kata Hadad lagi.
(L.
Sastra Wijaya, September 2015)
Sementara itu ekonom menyatakan kondisi perekonomian
Indonesia saat ini berada dalam keadaan yang lebih kompleks dibandingkan pada
2008.
Direktur Eksekutif Mandiri Institute Destry Damayanti
mengatakan permasalahan yang dihadapi sekarang dibandingkan kondisi pada 2008
dan 2009 sangat berbeda karena kondisi perekonomian saat ini justru lebih
kompleks.
Pada 2008, Indonesia masuk dalam kondisi krisis akibat
kasus perumahan di Amerika Serikat (AS).
"Ekonomi Indonesia pada 2009 tumbuh 4,5% karena
banyak aliran masuk ke Indonesia, dengan harga komoditas yang naik,
mempengaruhi pendapatan masyarakat. Memang ekonomi global buruk, tapi ada
booming komoditi," ujarnya di Plaza Mandiri, Senin (21/9/2015).
Saat krisis 2008, kondisi perekonomian nasional masih
kuat dengan harga komoditas yang tinggi mendorong investasi di dalam negeri.
Indonesia yang bergantung pada komoditas saat itu juga
memperoleh keuntungan karena banyak wilayah bergantung pada komoditas.
Komoditas inilah membuat pendapatan dan daya beli masyarakat menjadi meningkat.
"Booming komoditi memang high leverage, jadi
leverage-nya memang tinggi sehingga sektor keuangan ada likuiditas. Apalagi ada
stimulus, mereka tidak mungkin taruh lagi di sektor keuangan," katanya.
Destry menuturkanharga komoditas ini tertekan dan menurun
sejak 2012 sehingga ekonomi Indonesia mengalami deselerasi. Sebab, para
investor menyadari pelemahan ekonomi global membuat orang menarik investasi
pada komoditas.
"Orang sadar ternyata komoditas naik tidak ada
alasannya. Global demand tidak ada. Orang justify, orang berpikir tidak masuk
akal," ucapnya.
Pada saat yang sama, tambah Destry, terjadi normalisasi
kebijakan moneter dimana pengurangan stimulus atau tappering off dilakukan
sejak 2013.
Tak hanya itu, kondisi melemahnya perekonomian China juga
memperkeruh perekonomian nasional. Pemerintah China pun memutuskan untuk
mendevaluasi mata uang Yuan.
"Yuan masih over value, secara fundamental dan
artinya ekonomi domestik belum recovery akan dorong ekspornya, ekspor
meningkat. Amerika yang recover akan mundur lagi makanya The Fed menaikan bunga
mundur," tutur Destry.
Dengan kondisi global yang masih belum membaik, dia
menyarankan agar pemerintah memberikan strategi yang tepat seperti menggerakan
reindustrilisasi dan mendorong konsumsi dalam negeri.
"Ini kondisi tidak mudah. Jadi strategi yang diambil
pemerintah harus bertumpu domestik ekonomi. Kita harus sangat jeli melihat
sektor apa yang harus didorong ke depan. Ini perlu suatu terbosoan," ujar
Destry.
(Yanita Patriella, September 2015)
Sumber kutipann :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar