Rabu, 23 Maret 2016

Perekonomian Ekonomi Indonesia Dewasa Ini

Pertumbuhan ekonomi Indonesia 2016 diprediksi meningkat dengan didorong oleh stimulus fiskal, khususnya realisasi pembangunan proyek infrastruktur yang semakin cepat. Selain itu investasi swasta juga diharapkan dapat mendongkrakpertumbuhan ekonomi setelah Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga acuan (BI Rate) ke posisi 7%.
"Investasi swasta diharapkan meningkat seiring dengan dampak paket kebijakan pemerintah yang terus digulirkan dan pemanfaataan ruang pelonggaran moneter secara terukur dengan tetap menjaga stabilitas makro ekonomi," kata Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi Moneter Bank Indonesia (BI) Solikin M. Juhro saat pelatihan media di Bandung, Jawa Barat, Minggu (21/2/2016).
Dia menambahkan dalam proyeksi sebelumnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan pada rentang 5,2%-5,6%, tapi setelah BI rate turun maka ekonomi diproyeksi tumbuh sekitar 5,4%.
"Kita bisa melihat ekonomi pada arah tengah, yaitu 5,4%. Nah ini didorong dari konsumsi masyarakat seperti sektor makanan yang masih bagus, karena sepertinya masyarakat Indonesia doyan makan," sambungnya.
Selain itu pendorong lainnya adalah belanja pemerintah, seperti proyek pembangunan jalan atau infrastruktur yang diharapkan dapat terealisasi. Kemudian, lanjut dia, tren penurunan harga minyak dunia juga diharapkan dapat mendorong penurunan tekanan inflasi, dimana inflasi tahun ini diyakini berada pada kisaran angka 4 plus minus 1%.
"Kita akan alami inflasi yang konsisten. Tahun ini bisa dikendalikan seperti tahun lalu, dipercaya tahun ini inflasi akan di bawah 4% lagi. Sekarang bagaimana menekan inflasi-inflasi komponen," paparnya.
(Kunthi Fahmar Sandy, Februari 2016)

Ada juga Muliaman Hadad yang menyampaikan beberapa uraiannya mengenai situasi ekonomi Indonesia yang akan berubah pada awal tahun 2016. Beliau berpendapat bahwa dalam beberapa bulan ke depan sampai akhir 2015, keadaan ekonomi dunia masih akan tidak menentu, namun akan terjadi perubahan mulai awal tahun 2016.Demikian pendapat Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Indonesia di depan mahasiswa Indonesia di Universitas Monash hari Kamis (10/9/2015) malam.
Muliaman Hadad yang juga sebelumnya mendapat gelar Doktor dari Universitas Monash hadir dalam acara yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia Australia (PPIA) Monash.
Ini adalah bagian dari kegiatan bernama Australia Indonesia Business Forum dimana PPIA Monash secara berkala mendatangkan para pembicara guna memberikan masukan kepada mahasiswa mengenai realitas dunia bisnis.
Muliaman Hadad hadir untuk berbicara dalam tajuk pertemuan "Crafting Innovative Leaders in Golden Era" (Mencetak Pemimpin Inovatif di Era Keemasan), namun berkenaan dengan situasi perekonomian dunia dan Indonesia saat ini, kemudian banyak juga menyinggung hal lain selain juga meberikan beberapa nasehat mengenai kepemimpinan.
Dalam uraiannya Muliaman Hadad mengatakan saat ini memang terjadi pelemahan pertumbuhan ekonomi di beberapa bagian dunia, terutama di China, dan negara-negara berkembang termasuk di Indonesia.
Menjawab pertanyaan apakah Indonesia sekarang mengalami krisis ekonomi, Muliaman mengatakan "Tidak". "Kalau kita lihat negara-negara lain berada dalam situasi lebih buruk dari kita. Thailand, Malaysia, Singapura dan negara-negara berkembang lainnya. China yang dulu bisa tumbuh 8-9 persen setahun sekarang mengalami kesulitan untuk mencapai 6 persen."
"Namun dalam waktu bersamaan, di Eropa meski ada krisis di Yunani, namun pertumbuhan ekonomi di sana masih bagus. Demikian juga dengan Amerika Serikat." kata Hadad yang pernah menjadi Wakil Gubernur Bank Indonesia tersebut.
"Inilah yang membedakan antara keadaan sekarang dengan krisis ekonomi global di tahun 2008. Yang juga terjadi karenanya sekarang ini tidak ada reaksi global bersama-sama untuk mengatasi situasi." tambahnya.
Dikatakan oleh Hadad bahwa dalam pertemuan otoritas jasa keuangan dan perbankan baru-baru ini di Turki yang dihadirinya, Amerika Serikat sebagai ekonomi terbesar di dunia mendapat desakan untuk segera menentukan sikap apakah akan menaikkan suku bunga atau tidak,  ghal yang dikatakannya menciptakan ketidakmenentuan sekarang ini.
"Mereka sendiri selama dua tahun terakhir tidak bisa memutuskan, dan kita juga tidak bisa memaksa mereka. Jadi keadaan ekonomi sekarang di Indonesia banyak disebabkan karena faktor eksternal." tambah Hadad.
Dalam situasi ini, Muliaman Hadad mengatakan kepada puluhan mahasiswa Indonesia yang hadir dalam acara ini untuk melihat persoalan ekonomi Indonesia dalam taraf menengah dan panjang.
"Beberapa bulan ke depan dinamika ekonomi dunia masih akan gonjang ganjing. Namun anda semua harus melihat potensi ekonomi Indonesia dalam jangka menengah dan panjang, karena di situlah anda akan bisa mengisinya setelah selesai sekolah nanti." kata Hadad, yang menjadi Doktor Ekonomi di Monash di tahun 1996.
Berbicara mengenai awal tahun 2016, Muliaman Hadad mengatakan hal yang dilakukan pemerintah Indonesia saat ini misalnya dengan mengeluarkan paket kebijakan ekonomi bulan September adalah untuk menciptakan momentum baru guna menumbuhkan kembali gerak perekonomian.
"Krisis ekonomi itu bisa datang dan pergi tanpa diundang dan dampak dari suatu putaran itu biasanya baru terasa 6-9 bulan berikutnya. Oleh karena itu, pemerintah berusaha untuk mendorong terus dengan berbagai kebijakan guna menghidupkan kembali ekonomi." tambah Hadad.
Dia juga optimistis bahwa modal asing yang sekarang ini keluar akan kembali ke Indonesia.
"Modal itu seperti air selalu mencari jalannya sendiri. Sekarang di AS, tingkat suku bunga sangat rendah, demikian juga di Eropa. Di negara-negara berkembang lebih rendah dari kita. Di Indonesia marginnya masih tinggi, jadi setelah mereka mencari ke sana kemari untuk menanamkan modalnya, saya yakin mereka akan kembali ke Indonesia." kata Hadad.
Dan di tengah situasi perekonomian yang tidak menentu ini, menurut Hadad, sebagai bagian dari Otoritas Jasa Keuangan yang perlu dilakukan adalah menjaga situasi guna memastikan tidak adanya misalnya bank atau lembaga keuangan yang "jatuh'.
"Dengan dolar Amerika Serikat yang terus menguat terhadap rupiah, sebenarnya kita tidak khawatir. Bank Indonesia tidak khawatir kalau dolar mencapai Rp 15 ribu. Juga indeks saham menurun tidak berpengaruh pada bank, karena di Indonesia, bank tidak boleh meminjamkan dana untuk membeli saham. Hal seperti itu terjadi di China, sehingga turunnya indeks saham mempengaruhi bank." kata Hadad lagi.
 (L. Sastra Wijaya, September 2015)

Sementara itu ekonom menyatakan kondisi perekonomian Indonesia saat ini berada dalam keadaan yang lebih kompleks dibandingkan pada 2008.
Direktur Eksekutif Mandiri Institute Destry Damayanti mengatakan permasalahan yang dihadapi sekarang dibandingkan kondisi pada 2008 dan 2009 sangat berbeda karena kondisi perekonomian saat ini justru lebih kompleks.
Pada 2008, Indonesia masuk dalam kondisi krisis akibat kasus perumahan di Amerika Serikat (AS).
"Ekonomi Indonesia pada 2009 tumbuh 4,5% karena banyak aliran masuk ke Indonesia, dengan harga komoditas yang naik, mempengaruhi pendapatan masyarakat. Memang ekonomi global buruk, tapi ada booming komoditi," ujarnya di Plaza Mandiri, Senin (21/9/2015).
Saat krisis 2008, kondisi perekonomian nasional masih kuat dengan harga komoditas yang tinggi mendorong investasi di dalam negeri.
Indonesia yang bergantung pada komoditas saat itu juga memperoleh keuntungan karena banyak wilayah bergantung pada komoditas. Komoditas inilah membuat pendapatan dan daya beli masyarakat menjadi meningkat.
"Booming komoditi memang high leverage, jadi leverage-nya memang tinggi sehingga sektor keuangan ada likuiditas. Apalagi ada stimulus, mereka tidak mungkin taruh lagi di sektor keuangan," katanya.
Destry menuturkanharga komoditas ini tertekan dan menurun sejak 2012 sehingga ekonomi Indonesia mengalami deselerasi. Sebab, para investor menyadari pelemahan ekonomi global membuat orang menarik investasi pada komoditas.
"Orang sadar ternyata komoditas naik tidak ada alasannya. Global demand tidak ada. Orang justify, orang berpikir tidak masuk akal," ucapnya.
Pada saat yang sama, tambah Destry, terjadi normalisasi kebijakan moneter dimana pengurangan stimulus atau tappering off dilakukan sejak 2013.
Tak hanya itu, kondisi melemahnya perekonomian China juga memperkeruh perekonomian nasional. Pemerintah China pun memutuskan untuk mendevaluasi mata uang Yuan.
"Yuan masih over value, secara fundamental dan artinya ekonomi domestik belum recovery akan dorong ekspornya, ekspor meningkat. Amerika yang recover akan mundur lagi makanya The Fed menaikan bunga mundur," tutur Destry.
Dengan kondisi global yang masih belum membaik, dia menyarankan agar pemerintah memberikan strategi yang tepat seperti menggerakan reindustrilisasi dan mendorong konsumsi dalam negeri.
"Ini kondisi tidak mudah. Jadi strategi yang diambil pemerintah harus bertumpu domestik ekonomi. Kita harus sangat jeli melihat sektor apa yang harus didorong ke depan. Ini perlu suatu terbosoan," ujar Destry.
(Yanita Patriella, September 2015)

Sumber kutipann :