Senin, 16 Oktober 2017

LETTER ABOUT ORDER ACKNOWLEDGEMENT

To,

Mr. Bambang Triyono

Head Purchase Department

Beehive Electronics Ltd

Siliwangi Street,

Kuningan, West Java

16th October 2016

Dear Mr. Bambang

Subject: order acknowledgement letter for electronic goods

We take this chance to thank your company for the recent delivery of electronic goods order that was placed by our company. The order was placed on 6th October with the order number of 3765 on it and with a delivery date of 18th October. We are happy that our order was processed so soon even before the delivery due date and according to the requirements of our software unit. We also request your technical team to be sent soon so that the installation process of these electronic goods can be completed in the earliest possible time. We will soon send you another order along with the technical specifications by the end of this month.

We look forward to have an enduring business relationship with your company in future as well.

Thanking you,

Dwi Neni Rismala


What type of the letter is used for?
The type of letter is an official letter, in which the return letter against the book company to the costumer using effective sentences such as simple, concise, clear, polite and interesting. And the official letter is usually made by the agency of the company.

Jenis surat apa yang digunakan?
Jenis surat tersebut adalah surat resmi, dimana surat balasan terhadap perusahaan buku kepada costumer menggunakan kalimat yang efektif seperti sederhana, ringkas, jelas, sopan dan menarik. Dan surat resmi biasanya dibuat oleh lembaga perusahaan tersebut.

The importance of the letter is...
The important thing in letter orders and acknowledgment orders is how to know what types of letters are in each letter, know how to order something through correspondence, and know how to reply to a letter from a customer that the unavailability of the book he ordered.

Jumat, 09 Juni 2017

Kelompok 8 - Hak Kekayaan Intelektual

Review Jurnal Hak Kekayaan Intelektual

NAMA            : DWI NENI RISMALA
NPM               : 27215454
KELAS           : 2EB08

Pengembangan Hak Kekayaan Intelektual Sebagai Collateral (Agunan) Untuk Mendapatkan Kredit Perbankan Di Indonesia
Sri Mulyani
Fakultas Hukum UNTAG Semarang,
E-mail  : mulyaniargo@yahoo.com
Jurnal Dinamika Hukum , Vol. 12 No. 3 September 2012


ABSTRAK

Hak Kekayaan Intelektual merupakan hak eksklusif yang diberikan negara kepada para kreator, inventor atau pendesain atas hasil kreasi atau temuannya yang mempunyai nilai komersial, baik langsung secara otomatis atau melalui pendaftaran pada instansi terkait sebagai penghargaan, pengakuan hak yang patut diberikan perlindungan hukum. Perkembangan masyarakat global, HKI akan dijadikan collateral (agunan) untuk mendapatkan kredit perbankan secara internasional. Untuk mewujudkan konsep hukum ini diperlukan peraturan perundang-undangan di masing-masing negara yang bersedia menerapkannya yang mengatur substansi pembebanan, pengikatan, dan pendaftaran HKI sebagai collateral.
Kata kunci : Pengembangan HKI, collateral, kredit perbankan di Indonesia


PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Sejak awal abad 18 bangsa Eropa sudah mulai memikirkan soal Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Hal ini tercermin pada pameran internasional atas penemuan- penemuan baru di Vienna pada tahun 1873. Beberapa negara kemudian enggan mengikuti pameran-pameran seperti itu, karena takut ide-ide baru tersebut dicuri dan diekploitasi secara komersial di negara lain. Sejak saat itu mulai timbul kebutuhan perlindungan secara internasional atas karya intelektual.

Sistem hukum yang berkembang di masing-masing negara, termasuk di Indonesia, dalam bidang hak kekayaan intelektual, sangat dipengaruhi oleh hukum internasional dan juga oleh hukum negara-negara lain. Hal ini tidak bisa dinafikan, karena bagaimanapun juga sistem hukum internasional yang mengatur mengenai hak kekayaan intelektual lebih duluan lahir dan berkembang secara dinamis dan progresif dibandingkan dengan hukum nasional.

Ada dua lembaga multilateral yang berhubungan dengan HKI adalah WIPO dan TRIP’s (Trade Related Intellectual Property Rights). WIPO ada di bawah lembaga PBB dan TRIP’s lahir dalam Putaran Uruguay diakomodasi oleh WTO. Pembentukan WTO (World Trade Organization) merupakan salah satu wujud lembaga ekonomi yang dibentuk untuk menangani ekonomi global yang sarat dengan standar-standar regional dan internasional.

TRIP’S (Trade Related Aspecs Intelectual Property Rights), merupakan kesepakaan internasional yang paling komprehensif di bidang HKI. Perjanjian TRIP’s adalah suatu perpaduan yang unik dari prinsip-prinsip dasar General Agreement on Tariffs and Trade(GATT). TRIP’s bukanlah titik awal tumbuhnya konsep hak kekayaan intelektual. Berbagai konvensi internasional telah lama dilahirkan, dan telah beberapa kali diubah, namun yang signifikan dan menjadi dasar utama bagi konsepindustrial propertyadalah Paris Convention for the Protection of IndustrialProperty (Paris Convention), sedangkan untuk bidang copyright adalah Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works(Berne Convention).

Di Indonesia, bentuk-bentuk agunan kredit yang diakui berdasarkan Peraturan Bank Indonesia atau PBI Nomor 9/6/PBI/2007 tentang Perubahan Kedua atas PBI Nomor 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, Pasal 46, meliputi: pertama, surat berharga dan saham yang aktif diperdagangkan dibursa efek di Indonesia atau memiliki peringkat investasi dan diikat secara gadai; kedua, tanah, gedung, dan rumah tinggal yang diikat dengan Hak Tanggungan; ketiga, mesin yang merupakan satu kesatuan dengan tanah dan diikat dengan Hak Tanggungan; keempat, pesawat udara atau kapal laut dengan ukuran di atas 20 meter kubik yang diikat dengan hipotek; kelima, kendaraan bermotor dan persediaan yang diikat secara fidusia; dan atau keenam, resi gudang yang diikat dengan Hak Jaminan atas Resi Gudang (UU No.9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang), khusus diperuntukkanbagi objek agunan berupa hasil pertanian, perkebunan dan perikanan. Pengikatan Hipotik diatur berdasarkan UU No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dan UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, serta hanya diperuntukkan bagi objek agunan berupa kapal laut dan atau pesawat udara dengan ukuran di atas 20 meter kubik. Hak kekayaan intelektual berdasarkan peraturan Bank Indonesia mengenai bentuk-bentuk agunan kredit sebagaimana tersebut di atas, belum diatur. Praktik perbankan Indonesia belum dapat menerima hak kekayaan intelektual (HKI) sebagai objek jaminan fidusia. Sebagaimana dinyatakan oleh Dirjen Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan HAM, Andy N Sommeng dalam acara pembukaan seminar yang diselenggarakan oleh Indonesian Intellectual Property Alumni Association bekerja sama dengan Japan Paten Office, bahwa sertifikat HaKI di luar negeri, sebagai agunan ke bank sudah berjalan.

Perjanjian jaminan merupakan accesoirdari perjanjian kredit antara debitur dan kreditur. Dengan disepakatinya perjanjian kredit antara pengusaha (debitur) dan Bank selaku kreditur, maka terjadi hubungan hukum di mana sebenarnya telah terjadi dua kepentingan yang saling bertentangan (conflict of interest), yaitu di satu pihak debitur membutuhkan kredit dengan mudah dan cepat, dilain pihak kreditur (bank) memerlukan kepastian dan pengamanan terhadap pengembalian pelunasan utang melalui kredit dalam waktu yang tepat dengan objek kebendaan sebagai jaminan yang mudah dieksekusi,sedangkan hak kekayaan intelektual (HKI) merupakan kebendaan yang tidak berwujud sebagai aset perusahaan (intangible asset) dimana eksistensi hak kekayaan intelektual belum ada pengaturan hukumnya sebagai objekjaminan. Di samping itu juga kesulitan didalam memprediksi nilai HKI pada waktu pemberian kredit maupun eksekusi HKI, apabila debitur wanprestasi.

B.     Rumusan Masalah

1)      Bagaimana konsep HKI dalam perspektif collateral (agunan)?
2)      Bagaimana konsep HKI sebagai collateral dalam sistem jaminan fidusia di Indonesia?

C.     Batasan Masalah

1)      Untuk mengetahui konsep HKI dalam perspektif collateral (agunan).
2)      Untuk mengetahui konsep HKI sebagai collateral dalam sistem jaminan fidusia di Indonesia.


METODE PENELITIAN

A.    Pendekatan Penelitian

Proses penelitian menelusuri data yang sudah tersedia dalam bentuk bahan hukum yang sudah pernah ditulis. Tipe penelitian hukum seperti ini sering disebut sebagai penelitian yuridis normatif. Dengan pertimbangan bahwa titik tolak penelitian yang akan dilakukan adalah analisis terhadap kebijakan hak kekayaan intelektual yg dapat dijadikan objek jaminan secara internasional untuk mendapatkan kredit perbankan di Indonesia dan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pelaksanaan kebijakan tersebut, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konsep (conceptual approach).

B.     Penentuan Sampel

Penelitian dari studi pustaka yakni menggunakan objek kajian, penelitian yang memfokuskan kepada persoalan kebijakan hak kekayaan intelektual yg dapat dijadikan objek jaminan secara internasional untuk mendapatkan kredit perbankan di Indonesia.

C.     Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan menelusuri data yang sudah tersedia dalam bentuk bahan hukum yang sudah pernah ditulis. Dalam penelitian yuridis normatif, peneliti dapat menelusuri (explanatoris) konsep-konsep, aliran-aliran atau doktrin-doktrin hukum yang pernah ada dalam sejarah hukum.

D.    Metode Analisis

Pengolahan dan analisis bahan hukum. Bahan hukum yang diperoleh dari studi kepustakaan, aturan perundang-undangan dan artikel, diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa sehingga dapat disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis guna menjawab permasalahan penelitian yang sudah dirumuskan. Dalam proses penelitian selanjutnya data (bahan hukum) akan dianalisis dan diinterpretasikan berdasarkan bentuk-bentuk interpretasi yang lazim dalam penelitian yang menggunakan available data. Cara pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif yaitu menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkrit yang dihadapi. Selanjutnya bahan hukum yang ada dianalisis untuk menegtahui aspek yuridis dari pemasalahan yang diteliti.


PEMBAHASAN

A.    Konsep HKI dalam Perspektif Collateral

Secara historis konsep HKI sebagai objek jaminan lahir dan berkembang di negara barat yang sudah berjalan kepastian perlindungan HKInya.Pentingnya hak kekayaan intelektual dapat dijadikan objek jaminan (collateral) mengingat perkembangan dunia usaha di mana pemilik produk sekaligus sebagai pemilik HKI pada produk yang dihasilkannya sangat membutuhkan modal dengan mengadakan perjanjian kredit dengan HKI sebagai objek jaminan.

Istilah hukum jaminan merupakan terjemahan dari istilah security of law, zekerheid stellling atau zekerheidsrechten. Dalam praktik perbankan istilah jaminan dan agunan dibedakan. Istilah jaminan mengandung arti sebagai kepercayaan/keyakinan dari bank atas kemampuan atau kesanggupan debitur untuk melaksanakan kewajibannya, sedangkan agunan diartikan sebagai barang atau benda yang dijadikan jaminan untuk melunasi utang nasabah debitur.

Pentingnya jaminan dalam perjanjian kredit bank adalah sebagai salah satu sarana perlindungan hukum bagi keamanan bank dalam mengatasi risiko, agar terdapat suatu kepastian hukum nasabah debitur akan melunasi pinjamannya. Konsep hukum jaminan adalah adanya hubungan hukum antara debitur dan kreditur dalam perjanjian pinjam meminjam seagai perjanjian pokok dan adanya objekjaminan sebagai perjanjian acessoir(perjanjian tambahan).Dalam peraturan perundang-undangan, kata-kata jaminan terdapat dalam Pasal 1131 KUHPerdata dan Pasal 1132 KUHPerdata, dan dalam penjelasan Pasal 8 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 dan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998.

Secara teoritis, HKI dapat dijadikan jaminan utang, karena HKI merupakan hak kebendaan yang bernilai ekonomi. Di dalam Pasal 40 ayat (1) UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, Pasal 3 (ayat 2) UU Hak cipta, Pasal 66 ayat (1) UU Paten, Pasal 5 ayat (1) UU Rahasia Dagang, Pasal 31 ayat (1) UU Desain Industri, Pasal 23 ayat (1) UU Desain Tata Letak Terpadu, merupakan ketentuan yang mengatur mengenai pengalihan hak yaitu dapat beralih atau dialihkan, karena pewarisan, hibah, wasiat, perjanjian tertulis, sebab lain yang dibenarkan peraturan perundang-undangan. HKI termasuk benda bergerak yang tidak berwujud (Pasal 499 KUHPerdata) dapat beralih atau dialihkan karena perjanjian tertulis. Perjanjian tertulis yang dimaksud adalah dapat ditafsirkan (diinterpretasikan) sebagai perjanjian jaminan dengan objek HKI.

B.     Konsep Penilaian HKI sebagai Collateral

Hak Kekayaan Intelektual merupakan intangible asset suatu perusahaan, diatur dalam PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi) No.19 (revisi 2000) tentang Aktiva Tidak Berwujud. Konsep aktiva sesuai dengan paragraf 08 Pernyataan Standart Akuntasi Keuangan (PSAK) No.19 tahun 2000 adalah sumber daya yang dikendalikan oleh perusahaan sebagai akibat peristiwa masa lampau dan bagi perusahaan diharapkan akan menghasilkan manfaat ekonomis pada masa yang akan datang. Menurut Pernyataan Standart Akuntasi Keuangan (PSAK) No.19 (revisi 2000) aktiva tidak berwujud adalah aktiva non moneter yang dapat diidentifikasi dan tidak mempunyai wujud fisik serta dimiliki untuk digunakan dalam menghasilkan atau menyerahkan barang dan jasa, disewakan kepada pihak lainnya, atau untuk tujuan administratif. Aktiva tidak berwujud antara lain ilmu pengetahuan dan teknologi, desain dan implementasi sistem atau proses baru, lisensi, hak kekayaan intelektual, pengetahuan mengenai pasar dan merek dagang (termasuk merek produk/brand names).

Hak Kekayaan Intelektual yang merupakan intangible asset dalam sebuah perusahaan, apabila akan dijadikan collateral, harus di budayakan dalam laporan keuangan perusahaan yang masuk dalam aktiva tidak berwujud, sebagai sarana untuk mengetahui nilai asset perusahaan khususnya nilai hak kekayaan intelektual. Di samping itu dengan pemanfaatan dan pengelolaan Intellectual Capital yang baik oleh perusahaan dapat membantu meningkatkan kinerja perusahaan, yang berakibat nilai pasar perusahaan akan meningkat (marketable), sehingga menjadi nilai tambah bagi perusahaan untuk mendapatkan akses kredit perbankan.

C.     Konsep HKI sebagai Objek Jaminan dalam Sistem Jaminan Fidusia

Untuk keperluan penjaminan kredit, bentuk pengalihan yang bisa digunakan dengan objek hak kekayaan intelektual adalah melalui perjanjian jaminan. Adapun bentuk penjaminan yang paling tepat digunakan dalam hal ini adalah dengan menggunakan jaminan fidusia. Jaminan fidusia sebagai jaminan diberikan dalam bentuk perjanjian memberikan pinjaman uang, kreditur mencantumkan dalam perjanjian itu bahwa debitur harus menyerahkan barang-barang tertentu sebagai jaminan pelunasan hutang piutang. Dengan demikian hubungan hukum antara pemegang dan pemberi jaminan adalah hubungan perikatan, di mana pemegang jaminan (kreditur) berhak untuk menuntut penyerahan barang jaminan dari debitur (pemberi jaminan).

Secara konseptual jaminan fidusia merupakan jaminan yang bersifat kebendaan, setelah benda yang dibebani fidusia didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia. Jadi apabila benda yang dibebani fidusia tidak didaftarkan, maka hak penerima fidusia yang timbul dari adanya perjanjian pembebanan fidusia, bukan merupakan hak kebendaan, tetapi merupakan hak perorangan.

Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Jaminan Fidusia, menentukan bahwa yang dimaksudkan dengan fidusia ialah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bagi benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda. Jaminan Fidusia merupakan hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani dengan Hak Tanggungan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 4 tahun 1996 yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditor lainnya (Pasal 1 ayat 2 UU Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia).

Jika hak kekayaan intelektual akan dijadikan collateral dalam sistem hukum jaminan fidusia telah tersirat substansi pembebanan, pengikatan dan pendaftaran HKI sebagai objek jaminan fidusia sebagaimana yang diharapkan dalam Sidang ke-13 United Nations Commision on International Trade Law (UNCITRAL) Working Group VI on Security Interest, secured transactions law New York, 19-23 Mei 2008, bahwa masing-masing negara diharapkan memiliki aturan HKI sebagai collateral dengan tidak melanggar ketentuan HKI yang telah dimiliki masing-masing negara dan jugatidak boleh melanggar perjanjian internasional di bidang kekayaan intelektual yang telah dibuat antar negara.


KESIMPULAN

Konsep HKI sebagai collateral bahwa hak kekayaan inteletual dapat dikatagorikan sebagai benda bergerak yang tidak berwujud, yang mempunyai nilai ekonomi. Sertifikat hak kekayaan intelektual sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang tidak mewakili objek hanya subyek dari hak kekayaan intelektual tersebut, dan juga dilengkapi adanya perbuatan hukum tambahan yang terwujud dalam laporan keuangan perusahaan yang mempunyai hak kekayaan intelektual tersebut.

Pengembangan hukum hak kekayaan intelektual sebagai collateral dimungkinkan dengan pengikatan secara fidusia yang memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi para pihak yang berkepentingan yang teraplikasi dalam akta jaminan fidusia yang dibuat Notaris dan dilakukan pendaftaran di Kantor Pendaftaran Fidusia yang mempunyai kekuatan eksekutorial. Melalui lembaga jaminan fidusia tersirat konsep HKI sebagai Collateral terkait dengan substansi pembebanan, pengikatan dan pendaftaran HKI sebagai objek jaminan fidusia mengantisipasi berlakunya HKI sebagai collateral secara internasional untuk mendapatkan kredit perbankan di Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA

Bachtiar, Maryati. “Pelaksanaan Hukum Terhadap Merek Terkenal (Well Known Merk) Dalam WTO-TRIPS Dikaitkan dengan Pengaturan dan Praktiknya diIndonesia”. Jurnal Hukum Respublica. Vol. 6 No. 2 Tahun 2007. Pekanbaru: FH Universitas Lancang Kuning;

Faradz, Haedah. “Perlindungan Hak Atas Merek”. Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 8 No.1 Januari 2008. Purwokerto: FH Universitas Jenderal Soedirman;

Hadiarianti, Venantia. “Konsep Dasar Pemberian Hak dan Perlindungan Hukum HKI”. Jurnal Gloria Juris. Vol. 8 No. 2 Mei-Juni 2008. Jakarta: FH UNIKA Atma Jaya;

Hudaya, Heru. “Penafasiran dalam Hukum”. Duta Kampus Borobudur. Jakarta: Universitas Borobudur;

Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Deputi Bidang Pengembangan dan Restrukturisasi Usaha, Fungsi Sertifikasi HaKI Sebagai Agunan Belum Berjalan, http://www.sentrakukm.com/index.php/direktorihaki/301 Jumat, 22 Januari 2010,akses, 1 Desember 2010;

Kotler dkk. 1997. The Marketing of Nations, A Strategic Approach to Building National Wealth, New York: The Free Press;

Lambok, Betty Dina. “Akibat Hukum Persetujuan Tertulis dari Penerima Fidusia kepada Pemberi Fidusia untuk Menyewakan Obyek Jaminan Fidusia Kepada Pihak Ketiga”. Jurnal Hukum Pro Justitia. Vol. 26 No.3 Juli 2008. Bandung: FH UNPAR;

Lebson, Scott J. “Trade secrets as collateral: a US perspective”, Journal of Intellectual Property Law & Practice, Vol. 2 No. 11 2007. United Kindom: Oxford University Press;

M, Edward Iacobucci dan RalphA.Winter. “Asset Securitization and Asymmetric Information”. Journal of Legal Studies. Vol.34 No.1 Januari 2005. Chicago: University of Chicago Press;

Muladi. 2009. Pentingnya Lembaga Jaminan Fidusia dalam meningkatkan Pembangunan Ekonomi Nasional, Seminar Nasional “Problematika dalam Pelaksanaan Jaminan Fidusia di Indonesia: Upaya Menuju Kepastian Hukum, Fakultas Hukum USM, 16 Desember;

Mulyani, Sri. “Rekonstruksi Pemikiran Yuridis Integral dalam Pembaharuan Sistem Hukum Jaminan Fidusia Berpilar Pancasila”. Jurnal Ilmiah Hukum dan Dinamika Masyarakat.  Vol.7 No. 2 April 2010. Semarang: Fakultas Hukum UNTAG;

P. Pratt Shannon, Alina V.Naculita. 2008. Valuing a Business The Analysis and Appraisal of Closely Held Companies, Third Edition. New York: Shannon Pratt Valuation. Inc;

Ruff Schavey, Deborah, Mayer, Brown, Platt. 1999. Navigating Uncharted water staking security interest in United State Trademarks http://www.securitization.net/knowledge/transactions/waters.asp akses tgl 23 sept 2011;

Smith, Lars S. “General Intangible or Comercial Tort: Moral Rights and State Based Intellectual Property as Collateral Under U.C.C. Revised Article 9”. Emory Bank ruptcy Developments Journal. Vol. 22 2005. Atlanta: Emory Law;

Soepraptomo, Heru.“Masalah Eksekusi Jaminan Fidusia dan Implikasi Lembaga Fidusia Dalam Praktik Perbankan”.Jurnal Hukum Bisnis.Vol. 26 No.1. 2007. Jakarta: Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis;

Sujatmiko, Agung. “Perjanjian Lisensi Merek Terkenal”.Jurnal Mimbar HukumVol.22No.2Tahun 2010.Yoygakarta: Fakultas Hukum UGM;

Suryoutomo, Markus.“Efektivitas Pelaksanaan Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia Sebagai Agunan Kredit Bank”. Jurnal Ilmiah Hukum dan Dinamika Masyarakat.Vol.6.No.1 Oktober 2008.Semarang: Fakultas Hukum UNTAG;

Syafrinaldi.“Sistem Hukum Hak Kekayaan Intelektual”.Jurnal Hukum Respublika. Vol.4No.1 Tahun 2004. Pekanbaru: FH Universitas Lancang Kuning;

Tosato, Andrea.“Security Interest over Intellectual Property”. Journal of Intellectual Property Law & Practice. Vol.6 No.2 Tahun 2011;

Zaini, Ahmad. “Dinamika Perkembangan Lembaga Jaminan Fidusia di Indonesia”. Jurnal Al Qalam, Vol.24 No.3 September-Desember 2007. Yogyakarta: IKIP Muhammadiyah;


Zuliyati, Ngurah Arya.“Intellectual Capital dan Kinerja Keuangan Perusahaan”. Jurnal Dinamika Keuangan dan Perbankan.Vol.3 No.1 Nopember 2011.Semarang: Universitas Stikuban;